Al-Quran
dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah
inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada
upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan
menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran
ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik
penandaan bacaan (diacriticalmarks) dan otografi yang bervariasi.
Hadirnya
mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi
lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam
versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi
seperti yang kita kenal sekarang.
Versi
bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul
pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari
beragamnya cara memb
aca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu.
Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan
ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.
Sebelum
Uthman bin Affan (thn 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu
standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada
masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf yang
dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki
mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, perbedaan itu
hanya berdasarkan perbedaan dialek antara suku-suku Arab, sehingga tidak
merubah Substansi dari Al Qur’an itu sendiri.
Ibn
Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran
yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Hal ini
memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan
bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang
esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah
seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian
dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (thn 313 H). Dia dan ulama lainnya
yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah
“ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Tetapi keyakinan
tersebut berhasil dipatahkan oleh Khlaifah Ustman dengan mengutip hadist
Nabi : “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan bismillah
maka pekerjaannya menjadi sia-sia.” Kat-kata Bismillah memang menjadi
pembuka ayat dalam surat
Al Fatihah.
Setelah
Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar
seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan
dimusnahkan. Alasan tersebut dimungkinkan untuk penyeragaman dialek dan
bacaan Al Qur’an serta susunan Ayat yang menurut mushaf-Mushaf lainnya
tidak teratur,dan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah
mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada
otoritas yang bisa melafalkannya.
Otoritas
bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian
bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya
melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan
pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul
beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta
defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa
dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu,
ta’lamu atau bi’ilmi.
Untuk
mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, dan untuk menertibkan
dialeg , susunan surat serta tanda baca yang berbeda maka pada tahun
322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn
Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban.
Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn
Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi
(Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim,
Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).
Kodifikasi Al Qur’an
Kodifikasi
atau pengumpulan Al-Qur’an telah dimulai sejak turunnya Al-Qur’an.
Sebagaimana daketahui, Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setiap Nabi menerima wahyu, Nabi SAW lalu membacakan dihadapan para
sahabat karena beliau memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur;an
kepada mereka ( Q.S.16:44 ). Di samping menyuruh sahabat menghafalkan
ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi juga memerintahkan sahabat yang pandai
menulis untuk menuliskannya diatas pelepah-pelepah kurma,lempengan batu
dan kepingan tulang.Sahabat yang pandai menulis juga sangat
berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat.
Hal
ini didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah
yang harus dijadikan pedoman hidup,sehingga perlu dajaga dangan
baik.Setelah ayat-ayat yang di turunkan cukup satu surat ,
Nabi memberi nama surat tersebut untuk
membedakannya dari surat
yang lain. Nabi juga memberi petunjuk tentang urutan panempatan
suratnya. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya juga dilakukan
berdasarkan petunjuk Nabi.Untuk menjaga kemurnian Al Qur’an, setiap
tahun malaikat Jibril datang kepada Nabi untuk memeriksa bacaannya.
Kemudian juga Nabi juga melakukan hal yang sama kepada
sahabat-sahabatnya, sehingga dengan demikian terpeliharalah Al Qur’an
dari kesalahan dan kekeliruan.
Rasullah
tidak pernah menulis Al Qur’an karena beliau tidak pandai menulis dan
membaca tetapi beliau sangat kuat untuk mendorong sahabat – sahabatnya
untuk belajar baca tulis. Para tawanan
perang badar yang pandai menulis oleh Rasulullah di minta untuk mengajar
masyarakat sebagi tebusan kemerdekaan diri mereka. Selain itu, juga
telah ada beberapa sahabat yang pandai baca tulis jauh sebelum mereka
masuk islam. Sahabat – sahabat yang telah pandai baca tulis jauh sebelum
mereka masuk islam sahabat – sahabat inilah yang aktif menuliskan wahyu
untuk Rasulullah. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu, para penulis
itupun segera dipanggil untuk menulis dan mencatatnya disamping sahabat –
sahabat yang menghafalnya.
Setelah
hijrah kemadinah,. Nabi memiliki juru tulis khusus. Menurut M.M. Azmi
(ahli sejarah) dalam bukunya, kitab an-nabi ada sejumlah 48 orang
sahabat penulis Al Qur’an. Diantara mereka yang paling terkenal ialah
Zaid Bin Tsabit. Sebelum rasulullah wafat, Al Qur’an secara keseluruhan
telah selesai penulisannya dengan urutan surat
– surat
dan ayat – ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah sendiri. Penulisannya
dimasa itu masih menggunakan alat – alat yang sangat sederhana, seperti
pelepah kurma, kepingan tulang, dan lempengan – lempengan batu, sehingga
sulit dihimpun dalam satu kumpulan.
Setelah
Rasulullah wafat dan Abu bakar dipilih menjadi kholifah.
Tulisan-tulisan Al Qur’an yang berserakan pada pelepah-pelepah
kurma,tulang dan batu-batuan tetap disimpan dirumah Rasulullah sampai
terjadinya perang yamamah yang meranggut korban kurang lebih tujuh puluh
sahabat penghafal Al-Qur’an, kemudian timbul kekhatiran dikalangan
sohabat akan terjadimya perang lagi, yang akhirnya menyababkan hilangnya
Al Qur’an. Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar
agar menghimpun surat-surat dan ayat-ayat yang masih berserakan itu
kedalam satu mushaf.
Pada
mulanya abu Bakar berat menerima usulan umar karena pekerjaan seperti
itu belum pernah dikerjakan oleh rasulullah. Setelah umar meyakinkan abu
bakar bahwa pekerjaan pengumpulan alquran semata – mata unutk
memelihara kelestarian alquran, barulah ia menyetujuinya. Abu Bakar lalu
memerintahkan Zaid Bin Tsabit untuk memimpin tugas pengumpulan ini
dengan dibantu oleh ubay bin kaab, ali bin abi thalib utasman bin affan
dan beberapa sahabat lainnya. Meskipun Zaid Bin tsabit seorang penghafal
Al Quran dan banyak menuliskan ayat – ayat di masa Nabi, ia tetap
sangat berhati – hati dalam melakukan pengumpulan ayat – ayat alquran
itu. Didalam usaha pengumpulan ini Zaid Bin Tsabit berpegang pada
tulisan – tulisan yang tersimpan di rumah rasulullah, hafalan – hafalan
dari sahabat, dan naskah –naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk
mereka sendiri. Zaid bin Tsabit menghimpun surat
– surat
dan ayat – ayat Al Qur’an sesuai dengan petunjuk Rasulullah sebelum
beliau wafat dan menulisnya atas lembaran –lembaran kertas yang disebut
suhuf.
Ketika
Umar menjabat khalifah mushaf itupun berada pada pengawasannya. Setelah
umar wafat, mushaf ini disimpan dirumah Hafsah.
Pada
masa kholifah Usman bin Affan ,timbul perbedaan pendapat dikalangan
umat islam mengenai qira’ah, karena dikhawatirkan akan menimbulkan
perselisihan, kemudian Hudaifah mengusulkan kepada kholifah Ustman agar
menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan membuat mushaf Al
Qur’an standar yang kelak akan dijadakan pegangan bagi seluruh umat
islam. Menanggapi usul Hudaifah, lalu Usman msmbentuk panitia yang
terdiri atas Zaid bin sabit sebagai ketua dan anggota-anggotanya adalah
Abdullah bin zuber ,Sa’ad bin As, dan Abdurrahman bin haris. Kemudian
Usman meminjam mushaf yang di simpan dirumah Hafsah,dan memberikannya
kepada panitia yang telah terbentuk. Setelah tugas panitia selesai,Usman
mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada hafsah. Al-Qur’an
yang telah disalin dengan dialek yang seragam di masa Utsman itulah yang
disebut mushaf Utsmani.
Usaha
kodifikasi Al Qur’an dimasa Utsman membawa beberapa keberuntungan
antara lain sebagai berikut;
1. Menyatukan
umat islam yang berselisih dalam masalah Qiraah
2. Menyeragamkan
dialek bacaan AL Qur’an.
3. Menyatukan
tertib susunan surat – surat menurut
tertib urut seperti dlam mushaf – mushaf yang di jumpai sekarang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Utsman keberbagai
propinsi islam pada saat itu mendapat sambutan yang positif dikalangan
umat islam. Mereka menyalin dan memperbanyak mushaf itu dengan sangat
hati – hati.
Bentuk
Mushaf utsmani tulisan Al Qur’an masih memakai huruf – huruf khufi
(huruf huruf yang berbentuk garis lurus tanpa titik dan baris). Namun
hal ini tidak mempengaruhi bacaan Al Qur’an karena umumnya sahabat
adalah orang – orang yang fasih dalam bahasa arab, bahkan kebanyakan
mereka membaca Al Qur’an dengan lancar. Akan tetapi setelah banyak orang
– orang non arab memeluk islam, timbul kesulitan besar dalam membaca
tulisan Al Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, maka pembacaanya
banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda –
tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut –larut,
dikhawatirkan akan timbul kekacauan dikalangan umat islam.
Mushaf non Utsmani .
A. Mushaf
primer dan sekunder
Telah di kemukakn eksistensi sejumlah kodifikasi
tertulis al-Qur’an yang pengumpulannya diupayakan secara sadar oleh
sejumlah sahabat Nabi.Kumpulan-kumpulan tertulis ini telah mempengaruhi
kumpulan-kumpulan al-Qur’an yang diupayakan generasi berikutnya. Sebelum
Ustman ibn Affan melakukan penyeragaman teka al-Qur’an pada masa
kekhalifahannya. ketika Ustman melakukan unifikasi teks, capian-capian
para sahabat Nabi dan generasi berikutnya ini tetap eksis melalui
tranmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi serta di rekam
dalam sumber-sumber awal sebagai variandiluar teks Ustmani, atau
sebagai mushaf-mushaf pra Usmani.
Pada abad ke 4H/10 beberapa sarjana muslim melakukan
kajian khusus tentang fenomena Mashahif ini. Kajian paling terkenal
adalah yang dilakukan ibn al-Anbari (w. 940), mendahului karya ibn
Mujahid(w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitab al-Mashahif yang
disusun al-Anbari itu lenyap di telan masa, dan hanya di temukan
bekasnya dalam kutipan-kutipan yang dibuat sarjana muslim belakangan,
seperti dalam karya al-Syuyuti. Satu-satunya karya dari masa ini yang
sampai ketangan kita adalah yang di susun ibn Abi Dawud (w. 316), kitab
al-masahif. Kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya
dibandingkan kitab-kitab lainnya dari masa tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan mushaf primer adalah
mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh
sejumlah sahabat Nabi. Dan itu ada 15 kodeks diantaranya :
a.
Mushaf ubay bin Ka’ab.
b.
Mushaf ibn Mas’ud.
c.
Mushaf Zaid ibn Tsabit.
d.
Mushaf ibn Abbas dll.
Sementara Mushaf sekunder adalah mushaf generasi
selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada mushaf primer
serta mencerminkan tradisi bacaan kata-kota besar islam,sementara mushaf
sekunder ada 13 kodeks diantaranya :
a.
Mushaf Said ibn Zubair.
b.
Mushaf al-Aswad ibn Yazid.
c.
Mushaf Mujahid’
Mushaf-mushaf perimer ini, Sebagaimana telah
diungkapkan, menunjukkan upaya yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk
mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi dan sepeninggalannya, sebelum
eksis mushaf Ustmani. Sementar mushaf sekunder lebih memperlihatkan
pengaruh mushaf-mushaf primer dan meruoakan cerminan dari tradisi bacaan
al-Qur’an di kota-kota metropolitan Islam. Di samping itu, sebagian
mushaf kategori ini muncul dikalangan generasi ke dua islam, setelah
adanya pengumpulan al-Qur’an yang di lakukan pada masa khalifah ke tiga.
Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer,
mayoritas nama yang di pandang memiliki mushaf dalam skema di atas
sejalan dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang mengumpulkan
al-Qur’an di masa Nabi atau setelah wafatnya. Sekalipun demikian, hanya
jumlah kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang berhasil
menanamkan pengaruh yang luas di dalam masyarakat Islam. Dalam waktu
tenggang 20 tahun, mulai dari wafatnya Nabi sampai pengumpulan al-Qur’an
di masa ustman, hanya sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil
memaparkan pengaruhnya dikalangan masyarakat. Asal muasal pengaruh ini
tentunya pulang kepada individu-individu yang dengan nama mushaf itu di
kenal. Keempat sahabat Nabi yang di maksud di sini adalah : (i) Ubay ibn
Ka’b yang kumpulan al-Qur’annya berpengaruh di bagian besar daerah
siria ; (ii) abd Allah ibn mas’ud, yang mushafnya mendominasi daerah
kufa; (iii) AbuMusa al-As’ari,yang mushafnya memperoleh pengakuan
masyarakat basrah; dan (iv) Miqdqd ibn Aswad (w. 33H), yang mushafnya
diikuti penduduk kota hims, tetapi tidak tercantum dalam skema di atas.
Di samping itu mushaf ibn Abbas, tidak menjadi otoritas pada masanya,
juga perlu mendapat perhatian mengingat signifikansinya yang nyata dalam
perkembangan kajian al-Qur’an belakangan.
B. Mushaf
Ubay ibn Ka’b.
Ubay ibn Ka’b adalah seorang anshar dari bani
Najjar, yang masuk Islam pada masa cukup awal dan turut serta dalam
sejumlah pertempuran besar di masa Nabi, seperti dalam perang badar dan
Uhud. Pengetahuan tulis menulis ysng di kuasainya dengan baik, bahkan
sebelum masuk Islam, membuat Nabi menunjuknya sebagai salah seorang
seketarisnya begitu tiba di Madinah. Kegiatan Ubay sebagai sfketaris
Nabi tidak hanya terbatas tidak hanya sebatas korisponsi, tetapi
mencatat wahyu-wahyu yang di terima Nabi.Ia merupakan salah seorang yang
mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu
dari empat Sahabat yang disarankan Nabi agar umat Islam mempelajari
al-Qur’an darinya,.Dalam beberapa hal, otoritas tentang masalah-masalah
al-Qur’qn bahkan lebih besar dari ibn Mas’ud. Selain itu ia juga di
kenal sebagai Sayyid al-Qurrq’(“pemimpin para pelafal/penghafal
al-Qur’an”).
Mushaf Ubay di kabarkan turut dimusnahkan
ketika dilakikan standar disasi teks al-Qur,an pada masa Ustman. Bn abi
daud menuturkan suatu riwayat bahwa beberapa orang datang dari Irak
menemui putra Ubay,Muhammad, untuk mencari keterangan dalam mushaf
ayahnya. Namun ,Muhammad mengungkapkan bahwa mushaf tersubut telah
disita Ustman.Dalam kaitannya dengan susunan surat ,terdapat perbedaan yang relatif
kecil antara mushaf Ubay dengan mushaf Ustman.
C. Mushaf
Ibn Mas’ud
Abd Allah ibn mas’ud adalah salah seorang
sahabat nabi yang mula-mula masuk Islam. Sebagaimana halnya kebanyakan
pengikut awal Nabi, ia berasal dari strata bawah masyarakat Makkah.
Setelah masuk Islam ia mengikuti Nabi dan menjadi pembantu pribadinya.
Ketika Nabi memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Abisia, ia pergi
bersama pengikut awal Islam lainnya ke sana . Setelah hijrah ke Madinah, ia
dikabarkan tinggal di belakang masjid Nabawi dan berpartisipasi dalam
sjumlah peperangan, seperti dalam perang badar dimana dia memenggal
kepala Abu jahal, perang Uhud dan perang Yarmuk. Pada masa pemerintah
Umar, in Mas’ud dikirim keKufah sebagai qadli dan kepala perbenda haraan
negara (bayt al-mal).Tampaknya pekerjaan sebagai abdi di negara ini
tidak berjalan sukses di jalaninya. Pda masa pemerintaahan Usmtman ia di
pecat dari jabatannya di Kufah dan kembali ke Madinah serta meninggal
di kota ini pada 32H atau 33H dalam usia lebih dari 60 tahun. Menurut
versi lain, ia meningal di Kufah dan tidak di pecat dari jabatannya oleh
Ustman.
Ibn mas’ud merupan salah satu otoritas
terbesar dalam al-qur’an. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah
memunkinkannya mempelejari sekitar 70 surat secara langsung dari mulut Nabi.
Riwayat mengungkapkan bahwa ia meripakan salah seorang yang pertama-tama
pengajarkan bacaan al-qur’an. Ia di laporkan seagai orang pertama yang
membaca bagian-bagian al-qur’an dengan suara lantang dan terbuka di
Makkah. Lebuh jauh sebagai mana telah di singgung , hadist juga
mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang dari emopat Sahabat yang
di rekomendasikan nabi sebagai tempat bertanya tentang al-qur’an.
Otorita dan popularitaasnya dalam al-qur’an memuncak ketika bertugas di
kufah, dimana mushafnya memiiliki pengaruhn luas.
Di kufah sendiri, sejumlah muslim menerima
keberadaan mushaf baru yang di keluarkan Ustman. Tetepi sebagian besar
penduduk kota ini tetap memegang mushaf
ibn Mas’ud, yang ketika itu telah di pandang sebagai mushaf orang
kufah.karekteristik lsinnysa dari mushaf ibn mas’ud terletak pada
susunan surat
di dalamnya yang berbeda dari mushaf Ustmani.
D. Mushaf
Abu Musa al-As’ari
Abu Musa al-As’ari, berasal dari Yaman,
tergolong kedalam kelompok orang yang masuk islam pada masa awal. Di
kabarkan bahwa ia juga berhijrah ke Abisia dan baru kembali pada masa
penaklukan khaibar. Setelah itu, ia di beri posisi sebagai gubernur
suatu distrik oleh Nabi. Pada 17H, Khalifah Umar mengangkatnya sebagai
gubernur di Basrah. Pada pemerintahan Ustman ia di copot dari jabatan
tersebut dan akhirnya di angkat kembali dalam jabatan yang sama di kota kufah.
Kitika Usman terbunuh penduduk Kufah menentang ali ibn Abi Thalib, yang
memaksa Abu Musa melarikan diri dari kota itu. Ia juga terlibat dalam perang
hiffin pada 37H antara Ali dan mu’awiyah, sebagai arbitrator untuk
khalifah Ali, tetapi gagal memainkan perannya. Di sinilah akhir
aktifitas Abu Musa dalam percaturan politik. dikabarkan ia kembali ke
mekkah, lalu ke kufah dan meninggal di sana pada 42 atau 52h.
Abu Musa sejak awal tertarik pada pembacaan
Al-Qur’an. Di kabarkan bahwa suara bacaan Al-Qur’annya sangat terkenal
di masa nabi, mushaf Al-Qur’an barang kali baru di kumpulkan pada masa
Nabi, lalu di selesaikan setelah itu. Ketika menjabat sebagai gubernur
Basrah, mushafnya bisa di sebut dan di rujuk dengan nama lubab al-Qulub
mulai di terima dan akhirnya dijadikan sebagai teks otoritatif penduduk kota tersebut.
Dalam perjalanan selanjutnya mushaf Abu Mua terlihat tenggelam dan
memudar pengaruhnya dengan di terimanya mushaf Ustman sebagai mushaf
otoritatif hal ini bisa di lihat kenyataannya hanya sejumlah kecil
varian bacaannya yang sampai ketangan kita.
E. Mushaf
ibn Abbas
Nama sebenarnya ibn Abbas Abu Al Abbas Abd
Allah ibn Abbas,Keponakan Nabi menduduki tempat sangat terkemuka hal ini
terlihat dari figurasi dirinya sebagai tarjumah Al-Qur’an, al-bahr dan
habr al umah. Nama ibn Abbas mulai menonjol setelah khalifah ustman
mempercayakannya memimpin ibadah haji pada 35H, suatu tahun yang
menentukan dalam pelajaran politik Ustman. Lantaran hal itulah ia tidak
ada di Madinah ketika Usman terbunuh, Pada masa khalifah Ali ia di
tunjuk sebagai gubernur Basrah ketika Ali terpaksa menerima arbitrase
shuffin. Ia berkeinginan menjadikan ibn Abbas sebagai wakilnya, tetapi
di tentang para pengikutnya yang cendrung mewakilkannya Abu Musa
al-As’ari. Walau demikian, ibn Abbas menyertai Abu Musa dalam proses
arbitrase itudi mana Ali di makzulkan oleh Muawiyah yang akhirnya
membangun dinasti umayyah. Nama ibn Abbas sering muncul dalam daftar
orang yang mengumpulkan Al-Qur’an pada masa nabi. Salah satu
karektaristik mushaf ibn Abbas eksisnya ada dua surat ekstra “surat
al-khal dan surat al-hafd”di dalamnya sebagai mana dalam mushaf Ubay dan
Abu Musa.Denagn demikian jumlah keseluruhan surat dalam mushaf ibn
Abbas adalah sebanyak 116 surat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar