Salah satu metode yang
berguna adalah memandang suatu budaya, membayangkan beberapa lapisan
secara berturut-turut, atau tingkat pemahaman saat melihat arti budaya
yang sebenarnya. Dengan begitu, teknik "pria dari Mars" ini akan
berguna. Bayangkanlah seorang pria dari Mars baru saja mendarat (dari
pesawat ruang angkasa) dan melihat semua hal melalui kacamata alien.
Hal pertama yang akan diperhatikan seorang
pengunjung adalah perilaku orang. Inilah lapisan terluar yang akan
diperhatikan oleh alien. Kegiatan apa yang akan diamatinya? Apa yang
sudah dilakukannya? Saat memasuki sebuah ruang kelas, tamu kita mungkin
mengamati beberapa hal yang menarik. Orang bisa berada di ruangan ini
karena satu atau lebih penyebab. Tampaknya mereka mengitari ruangan
dengan sewenang-wenang. Seorang yang lain berpakaian berbeda dengan yang
lainnya dan mengatur posisinya sehingga berhadapan dengan orang-orang
dan mulai berbicara. Saat semua ini diamati, beberapa pertanyaan akan
muncul, "Mengapa mereka berada di kelas ini? Mengapa si pembicara
berpakaian berbeda? Mengapa banyak yang duduk ketika satu orang
berdiri?" Ini adalah pertanyaan tentang arti yang timbul karena
mengamati perilaku. Menanyakan perbedaan cara bertindak pada beberapa
orang mungkin menjadi suatu hal yang menarik untuk dilakukan. Namun,
beberapa orang mungkin akan mengangkat bahu dan berkata, "Memang
beginilah cara kami melakukan sesuatu." Tanggapan ini menunjukkan fungsi
penting dari budaya, yaitu memberikan "cara yang terpola dalam
melakukan sesuatu", seperti yang dijelaskan oleh satu kelompok ahli
antropologi misionaris. Anda bisa menyebut budaya sebagai "lem super"
yang mengikat orang dan memberikan rasa identitas dan kelangsungan yang
hampir tak bisa ditembus. Identitas ini paling jelas terlihat dari
perilaku -- cara melakukan sesuatu.
Dalam
mengamati penduduk, alien mulai menyadari banyak perilaku yang didikte
oleh pilihan-pilihan serupa yang telah dibuat masyarakat. Pilihan ini
mencerminkan masalah nilai-nilai budaya, lapisan berikutnya dari
pandangan kita akan budaya. Masalah ini selalu berhubungan dengan
pilihan mengenai apa yang "baik", apa yang "menguntungkan", atau apa
yang "terbaik".
Jika pria
dari Mars itu terus menyelidiki orang-orang di kelas tersebut, dia
mungkin akan menemukan bahwa ada berbagai pilihan untuk mereka dalam
melewatkan waktu. Selain belajar, mereka bisa bekerja atau bermain.
Banyak yang akan memilih belajar karena yakin itu pilihan yang lebih
baik dibandingkan bermain atau bekerja. Dia menemukan berbagai pilihan
lain yang telah mereka buat. Sebagian besar dari mereka memilih datang
ke ruangan dengan kendaraan kecil beroda empat karena merasa kemampuan
untuk dapat berpindah dengan cepat sebagai hal yang sangat
menguntungkan. Memasuki ruangan beberapa saat setelah orang-orang lain
masuk dan segera keluar setelah pertemuan berakhir. Orang-orang ini
mengatakan bahwa sangat penting bagi mereka untuk menggunakan waktu
dengan efisien. Nilai adalah keputusan "yang ditetapkan sebelumnya" di
antara pilihan yang umumnya dihadapi, yang dibuat oleh suatu budaya. Ini
membantu orang-orang yang tinggal di dalam budaya tersebut untuk
mengetahui apa yang "sebaiknya" atau apa yang "harus" dilakukan agar
"cocok" dan sesuai dengan pola kehidupan. Melebihi pertanyaan mengenai
perilaku dan nilai, kita menghadapi pertanyaan yang lebih mendasar
mengenai budaya. Hal ini membawa kita menuju tingkat pemahaman yang
lebih mendalam, yaitu kepercayaan budaya. Kepercayaan ini memberi
jawaban atas pertanyaan "apa yang benar".
Nilai-nilai dalam budaya tidak dipilih secara
sembarangan, tapi mencerminkan sistem kepercayaan yang mendasari.
Misalnya, dalam kelas, seseorang yang menyelidiki lebih jauh mungkin
akan menemukan bahwa "pendidikan" memiliki arti penting tertentu karena
anggapan mereka tentang apa yang benar dari orang tersebut, kemampuannya
untuk berpikir dan memecahkan masalah. Dalam hal ini, budaya diartikan
sebagai "cara pandang yang dipelajari dan dibagi bersama" atau
"orientasi kognitif yang dibagi bersama". Menariknya, alien penyelidik
kita bisa menemukan bahwa orang yang berbeda dalam ruangan tersebut,
saat menunjukkan nilai dan perilaku yang sama, bisa menyatakan
kepercayaan yang sangat berbeda. Dan dia juga bisa menemukan bahwa nilai
dan perilaku bertentangan dengan kepercayaan yang seharusnya
menghasilkannya. Masalah timbul dari kebingungan antara kepercayaan
pelaksanaan (kepercayaan yang memengaruhi nilai dan perilaku) dan
kepercayaan teoritis (menyatakan kepercayaan yang hanya sedikit
memengaruhi nilai dan perilaku). Inti dari semua budaya adalah
pandangannya terhadap dunia. Hal ini menjawab pertanyaan paling dasar,
"Apa yang sebenarnya?" Bidang budaya ini berkaitan dengan pertanyaan
"terakhir" yang terpenting mengenai kenyataan, pertanyaan yang jarang
ditanyakan, namun yang jawaban terpentingnya dapat diberikan oleh
budaya. Beberapa tamu kita dari Mars bertanya pada orang-orang,
pernahkah mereka serius memikirkan pandangan hidup yang terdalam, yang
telah membawa mereka ada dalam kelas ini. Siapa mereka? Dari mana mereka
datang? Adakah hal atau orang lain yang mengambil kenyataan yang
seharusnya dipikirkan? Apakah mereka melihat apa adanya atau adakah
sesuatu yang lain? Apakah hanya saat ini yang terpenting? Ataukah masa
lalu dan masa depan secara signifikan memengaruhi pengalaman masa kini
mereka? Setiap budaya memiliki jawaban rinci atas pertanyaan-pertanyaan
ini dan jawaban itu mengendalikan dan menyatukan semua fungsi, aspek,
dan komponen budaya.
Pemahaman
akan pandangan dunia sebagai inti setiap budaya menjelaskan kebingungan
akan banyaknya pengalaman pada tingkat kepercayaan. Pandangan dunia
seseorang memberi satu sistem kepercayaan yang tercermin dalam nilai dan
perilaku orang itu yang sebenarnya. Terkadang diperkenalkan sistem
kepercayaan yang baru atau yang bersaing, namun pandangan dunia tetap
tidak berubah dan tidak tertantang sehingga nilai dan perilaku
mencerminkan sistem kepercayan yang lama. Kadangkala orang yang
menceritakan Injil secara lintas budaya tidak memperhitungkan masalah
pandangan dunia ini. Karena itulah, mereka merasa kecewa karena
kurangnya perubahan yang dihasilkan usaha mereka.
Model
budaya ini terlalu sederhana untuk menjelaskan banyak unsur dan
hubungan kompleks yang ada pada setiap budaya. Bagaimanapun juga, model
yang sangat sederhana ini menjadi garis besar dasar bagi setiap murid
yang mempelajari budaya.
Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga
kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Pengertian kebudayaan menurut para tokoh
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan
masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk
pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian
nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut,
dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Salh
satu contoh kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan melayu riau
. Riau berada di garda
terdepan dalam menjaga tradisi dan kebudayaan Melayu di Indonesia.
Bahasa pengantar di provinsi ini umumnya Melayu. Adat istiadat yang
berkembang dan hidup di provinsi ini adalah adat istiadat Melayu, yang
mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakatnya
bersendikan Syariah Islam. Penduduknya pun terdiri dari Suku Melayu Riau
dan berbagai suku lainnya, mulai dari Bugis, Banjar, Mandahiling,
Batak, Jawa, Minangkabau, dan China.
Uniknya, di provinsi ini masih terdapat kelompok masyarakat yang di kenal dengan masyarakat terasing, antara lain:
Uniknya, di provinsi ini masih terdapat kelompok masyarakat yang di kenal dengan masyarakat terasing, antara lain:
- Suku Sakai: kelompok etnis yang berdiam di beberapa kabupaten antara lain Kampar, Bengkalis, Dumai:
- Suku Talang Mamak: berdiam di daerah Kabupaten Indragiri Hulu dengan daerah persebaran meliputi tiga kecamatan: Pasir Penyu, Siberida, dan Rengat:
- Suku Akit: kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis:
- Suku Hutan: suku asli yang mendiami daerah Selat Baru dan Jangkang di Bengkalis, dan juga membuat desa Sokap di Pulau Rangsang Kecamatan Tebing Tinggi serta mendiami Merbau, sungai Apit dan Kuala Kampar.
Provinsi Riau sangat kaya dengan kerajinan daerah. Hanya
saja hingga kini potensi kini potensi ekonomi rakyat ini masih kurang
perhatian. Salah satu bentuk kerajinan daerah Riau adalah anyaman yang
erat hubungannya dengan kebutuhan hidup manusia. Kerajinan ini
dikembangkan dalam bentuknya yang aneka ragam, dibuat dari daun pandan,
daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan, daun kelapa, daun
nipah, dan daun rumbia. Hasil anyaman ini bermacam – macam pula, mulai
dari bakul, sumpit, ambung, katang – katang, tikar, kajang, atap,
ketupat, tudung saji, tudung kepala dan alat penangkap ikan yang disebut
sempirai, pangilo, lukah dan sebagainya.
Bahasa Melayu sebagai fenomena
sosial, menurut Pak Profesor, tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat
Melayu dan kebudayaannya. Ruang lingkup pemakainya pun cukup luas. Bukan
hanya di daerah Riau, tapi juga di beberapa negara tetangga. Di
pelbagai daerah di tanah air sendiri, kata Profesor Kailani,
masyarakatnya menggunakan Bahasa Melayu. Seperti dialek Jakarta, Bahasa
Melayu Menado, Bahasa Melayu Palembang, Bahasa Melayu Medan. Namun,
agaknya Pak Profesor lupa mencantumkan – atau memang tidak menganggap –
Bahasa Minang juga masih satu akar dengan Bahasa Melayu. Dalam konteks
Riau, Bahasa Minang ini tak bisa diabaikan begitu saja. Maklum, dalam
bahasa pergaulan sehari-hari di pelbagai tempat di Riau, masyarakat
umumnya menggunakan Bahasa Minang. Bahkan, murid kelas satu sekolah
dasar di Pekanbaru masih ada yang berhitung
denganangka:“ciek,duo,tigo,ampek…”
Secaradejure,Riaumemang termasuk dalam kawasan Tanah
Melayu. Namun, secara de facto, banyak masyarakatnya yang masih sering menggunakan bahasa dan adat istiadat Minang. Malahan, bahasa dan adat istiadat Melayu Talukkuantan dan Kampar, kelihatan masih satu akar dengan Minang.
Daerah yang masih kental Melayu-nya saat ini, hanya di kawasan Bengkalis – minus Dumai dan Duri, serta Siak. Sedangkan Kepulauan Riau yang masih bertahan dengan ke-Melayu-annya – kendati telah banyak dihuni kaum pendatang – sebentar lagi akan berpisah dengan Riau Daratan.
Nah, agar Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai lambang identitas daerah atau kelompok masyarakat Melayu Riau – sebagaimana yang diinginkan Profesor Kailani Hasan – nampaknya semua pihak harus bekerja keras. Apalagi guna memujudkan Visi Riau 2020, yang antara lain akan menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu.
Untuk mencapai target itu pada Tahun 2020, memang terasa agak berat. Namun, dengan upaya yang sangat keras sekali, hal itu masih dan bisa dilakukan. Buktinya, Singapura yang penduduknya mayoritas Orang Cina, kini telah bisa menjadikan Bahasa Inggeris sebagai bahasa sehari-hari. Jadi, kalau generasi saat ini masih susah diubah lidahnya menjadi lebih Melayu, setidaknya generasi tahun 2020 mendatang sudah akan fasih berbahasa dan berbudaya Melayu.
Sebagai langkah awal, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mendidik para guru sekolah – terutama di taman kanak-kanak dan sekolah dasar – untuk mempergunakan bahasa Melayu yang baik dan benar. Dengan begitu, murid-murid pun sedikit banyak akan meniru sang guru. Jadi, tidak akan ada lagi terdengar murid yang mengerjakan matematika dengan angka ciek, duo, tigo, ampek.
Setelah Bahasa Melayu bisa menjadi percakapan sehari-hari di sekolah, maka langkah untuk me-Melayu-kan Riau pun menjadi lebih ringan sedikit. Artinya, meskipun Bahasa Melayu bukan sebagai bahasa ibu bagi murid-murid, tapi bahasa tersebut tidak lagi terasa asing bagi mereka yang akan menjadi generasi berikutnya pada tahun 2020.
Maka, setelah menjadi bahasa percakapan di sekolah, diharapkan para murid akan membawanya ke rumah dan ke pergaulan sehari-harinya di luar rumah. Dari sinilah diharapkan Bahasa Melayu akan berkembang lagi di pasar, perkantoran, dan tempat lainnya.
Yang menjadi kendala justru adalah menyatukan budaya dan kebiasaan masing-masing masyarakat. Rasanya tak mungkin bisa dengan cepat merobah adat kebiasaan orang Minang, misalnya dalam pesta perkawinan. Maklum, adat Minang mengenal adanya ninik mamak, sedangkan adat resam Melayu lebih terpaku kepada agama Islam.
Namun, agaknya hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Masyarakat Kampar dan Taluk, misalnya, meskipun adat istiadatnya terasa lebih dekat ke Minang, toh mereka tetap menyatakan diri sebagai orang Melayu. Atau bisa dicontoh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia. Kendati adat-istiadat mereka mirip dengan di Minang – bahkan sebagian rumah dan gedungnya masih bagonjong – mereka tetap mengaku sebagai orang Melayu.
Langkah untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, seperti telah disebutkan tadi, dari segi teoritis memang dapat dilaksanakan. Namun, ada satu hal yang bisa mengundang rasa pesimistis keinginan tersebut akan terlaksana. Yakni masalah globalisasi dunia. Bayangkan saja, dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat, bumi ini seperti jadi selebar daun keladi saja. Apa yang terjadi di pelosok dunia, saat itu juga bisa diketahui di tempat lain yang demikian jauh jaraknya.
Dengan keadaan seperti itu, apakah pada 2020 nanti masih ada orang yang berbahasa daerah? Agak susah untuk menjawabnya. Saat ini saja, karena terpengaruh sinetron atau acara lain di televisi dan radio, para remaja di Pekanbaru berbicara sudah seperti orang Jakarta. Apalagi jika nanti media elektronik dari luarnegeri dengan derasnya masuk ke Indonesia. Boleh jadi kata-kata sorry, thank you, atau fuck you menjadi bahasa sehari-hari.
Belum lagi jika perdagangan bebas semacam AFTA dan perdagangan bebas dunia akhirnya akan benar-benar terwujudkan secara nyata. Bisa saja montir mobil datang dari Jepang, sopir taksi orang Cina Singapura, dan buruh bangunan dari Bangladesh. Bagaimana pula cara mengajak mereka menggunakan Bahasa Melayu?
Jika suatu saat akan benar terjadi seperti itu, rasanya jadi agak sulit untuk meramalkan bagaimana nantinya bahasa dan adat istiadat yang digunakan orang di Riau. Sebab, Riau merupakan kawasan yang paling terbuka dengan kedatangan orang luar. Apakah masyarakat Riau tahun 2020 akan menggunakan Bahasa Melayu, Inggeris, atau mungkin juga Bahasa Cina. Sebab, jika melihat statistik agama terbesar ke dua di Riau adalah agama Budha, maka Orang Cina – yang umumnya menganut agama Budha – merupakan penduduk kedua terbanyak di bumi Lancang Kuning ini. Dan mereka jugalah yang mendominasi perekonomian, tak hanya di Riau, tapi hampir di seluruh penjuru tanah air, serta di kawasan Asean. Bisa-bisa kata kamsia atau sie-sie yang akan sering terdengar.
Secaradejure,Riaumemang termasuk dalam kawasan Tanah
Melayu. Namun, secara de facto, banyak masyarakatnya yang masih sering menggunakan bahasa dan adat istiadat Minang. Malahan, bahasa dan adat istiadat Melayu Talukkuantan dan Kampar, kelihatan masih satu akar dengan Minang.
Daerah yang masih kental Melayu-nya saat ini, hanya di kawasan Bengkalis – minus Dumai dan Duri, serta Siak. Sedangkan Kepulauan Riau yang masih bertahan dengan ke-Melayu-annya – kendati telah banyak dihuni kaum pendatang – sebentar lagi akan berpisah dengan Riau Daratan.
Nah, agar Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai lambang identitas daerah atau kelompok masyarakat Melayu Riau – sebagaimana yang diinginkan Profesor Kailani Hasan – nampaknya semua pihak harus bekerja keras. Apalagi guna memujudkan Visi Riau 2020, yang antara lain akan menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu.
Untuk mencapai target itu pada Tahun 2020, memang terasa agak berat. Namun, dengan upaya yang sangat keras sekali, hal itu masih dan bisa dilakukan. Buktinya, Singapura yang penduduknya mayoritas Orang Cina, kini telah bisa menjadikan Bahasa Inggeris sebagai bahasa sehari-hari. Jadi, kalau generasi saat ini masih susah diubah lidahnya menjadi lebih Melayu, setidaknya generasi tahun 2020 mendatang sudah akan fasih berbahasa dan berbudaya Melayu.
Sebagai langkah awal, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mendidik para guru sekolah – terutama di taman kanak-kanak dan sekolah dasar – untuk mempergunakan bahasa Melayu yang baik dan benar. Dengan begitu, murid-murid pun sedikit banyak akan meniru sang guru. Jadi, tidak akan ada lagi terdengar murid yang mengerjakan matematika dengan angka ciek, duo, tigo, ampek.
Setelah Bahasa Melayu bisa menjadi percakapan sehari-hari di sekolah, maka langkah untuk me-Melayu-kan Riau pun menjadi lebih ringan sedikit. Artinya, meskipun Bahasa Melayu bukan sebagai bahasa ibu bagi murid-murid, tapi bahasa tersebut tidak lagi terasa asing bagi mereka yang akan menjadi generasi berikutnya pada tahun 2020.
Maka, setelah menjadi bahasa percakapan di sekolah, diharapkan para murid akan membawanya ke rumah dan ke pergaulan sehari-harinya di luar rumah. Dari sinilah diharapkan Bahasa Melayu akan berkembang lagi di pasar, perkantoran, dan tempat lainnya.
Yang menjadi kendala justru adalah menyatukan budaya dan kebiasaan masing-masing masyarakat. Rasanya tak mungkin bisa dengan cepat merobah adat kebiasaan orang Minang, misalnya dalam pesta perkawinan. Maklum, adat Minang mengenal adanya ninik mamak, sedangkan adat resam Melayu lebih terpaku kepada agama Islam.
Namun, agaknya hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Masyarakat Kampar dan Taluk, misalnya, meskipun adat istiadatnya terasa lebih dekat ke Minang, toh mereka tetap menyatakan diri sebagai orang Melayu. Atau bisa dicontoh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia. Kendati adat-istiadat mereka mirip dengan di Minang – bahkan sebagian rumah dan gedungnya masih bagonjong – mereka tetap mengaku sebagai orang Melayu.
Langkah untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, seperti telah disebutkan tadi, dari segi teoritis memang dapat dilaksanakan. Namun, ada satu hal yang bisa mengundang rasa pesimistis keinginan tersebut akan terlaksana. Yakni masalah globalisasi dunia. Bayangkan saja, dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat, bumi ini seperti jadi selebar daun keladi saja. Apa yang terjadi di pelosok dunia, saat itu juga bisa diketahui di tempat lain yang demikian jauh jaraknya.
Dengan keadaan seperti itu, apakah pada 2020 nanti masih ada orang yang berbahasa daerah? Agak susah untuk menjawabnya. Saat ini saja, karena terpengaruh sinetron atau acara lain di televisi dan radio, para remaja di Pekanbaru berbicara sudah seperti orang Jakarta. Apalagi jika nanti media elektronik dari luarnegeri dengan derasnya masuk ke Indonesia. Boleh jadi kata-kata sorry, thank you, atau fuck you menjadi bahasa sehari-hari.
Belum lagi jika perdagangan bebas semacam AFTA dan perdagangan bebas dunia akhirnya akan benar-benar terwujudkan secara nyata. Bisa saja montir mobil datang dari Jepang, sopir taksi orang Cina Singapura, dan buruh bangunan dari Bangladesh. Bagaimana pula cara mengajak mereka menggunakan Bahasa Melayu?
Jika suatu saat akan benar terjadi seperti itu, rasanya jadi agak sulit untuk meramalkan bagaimana nantinya bahasa dan adat istiadat yang digunakan orang di Riau. Sebab, Riau merupakan kawasan yang paling terbuka dengan kedatangan orang luar. Apakah masyarakat Riau tahun 2020 akan menggunakan Bahasa Melayu, Inggeris, atau mungkin juga Bahasa Cina. Sebab, jika melihat statistik agama terbesar ke dua di Riau adalah agama Budha, maka Orang Cina – yang umumnya menganut agama Budha – merupakan penduduk kedua terbanyak di bumi Lancang Kuning ini. Dan mereka jugalah yang mendominasi perekonomian, tak hanya di Riau, tapi hampir di seluruh penjuru tanah air, serta di kawasan Asean. Bisa-bisa kata kamsia atau sie-sie yang akan sering terdengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar